Ilustrasi akhlak tasawuf
Apakah pengertian akhlak
tasawuf? Sebelumnya, kita perlu memahami arti tasawuf,
yang berkaitan dengan sufi. Tasawuf adalah menyerahkan diri kepada Allah Swt.
Karena itu, orang yang bertasawuf dalam mengenali Tuhan dengan cara yang
sedikit berbeda dengan kebanyakan umat beragama.
Sufi sering dianggap mengada-ada di dalam beribadah. Bahka
Tasawuf juga sering dituduh sebagai kekafiran tersembunyi dalam Islam. Oleh
karena itu, kita perlu melihat praktik langsung para sufi, akhlak mereka untuk membuktikan
sejauh apa “kesesatan†atau “kebenaran†tasawuf.
Akhlak Tasawuf - Sejarah Tasawuf
Setiap ilmu pengetahuan ada perumusnya. Imam As-Syafi’I
dinyatakan sebagai perumus Ushul Fikih dan Imam Abu Hasan al-Asy’ari
dinyatakan sebagai perumus akida ahlussunnah wal jamaah. Siapa perumus ilmu
tasawuf? Para ulama tasawuf, seperti Ibu Ajibah, penulis Syarah hikam,
menyatakan bahwa perumus ilmu tasawuf adalah Abul Qasim Muhammad ibnu Junaid
al-Khazzaz atau yang biasa disebut dengan Syeikh Junaid al-Baghdadi.
Hakikat Tasawuf sendiri, menurut Syeikh Junaid al-Baghdadi,
adalah suatu proses penyucian untuk menempatkan yang hak. Karena kebenaran
sendiri tidak akan pernah berubah dan tidak mungkin dapat dipalsukan. Ia tetap
benar di manapun ia berada. Ia tak ubahnya seperti berlian atau mutiara.
Syeikh Zuruq berkata tentang pengertian tawasuf. Terdapat dua
ribu definisi tasawuf dengan berbagai rumusan, namun mempunyai satu kesimpulan,
yaitu “kebenaran mengahadap Allahâ€.
Perbedaan ungkapan terhadap satu hakikat, menurut Syeikh
Zuruq, menunjukkan jauhnya jangkauan para peminatnya. Setiap ungkapan sesuai
dengan pemahamannya.
Intinya, sejarah tasawuf dan pengertiannya memang tak jauh
berbeda dari tujuan utama tasawuf, yaitu memurnikan tawajjuh kepada Allah.
Tawajjuh artinya, menghadap Allah dengan mendapatkan ridha-Nya dan dengan cara
yang diridhai-Nya. Makanya, orang yang belajar tasawuf kerap akan mengirinya
dengan akhlak yang mulai. Biasanya disingkat dengan akhlak tasawuf.
Akhlak Tasawuf - Ibadah Ketat Pelaku Tasawuf
Dalam beribah, para pelaku akhlak tasawuf murni memberlakukan
ketentuan yang ketat. Dengan dalih, bahwa Allah melarang hamba-Nya untuk
berbuat kufur. Untuk itu, diwajibkan untuk beriman kepada-Nya. Setiap orang
wajib menjalankan syariat Islam. Bertasawuf tidak dibenarkan tanpa berpijak
pada syariat Islam karena dengan syariat (hukum fikih), hukum Allah dapat
diketahui, yaitu ibadahnya sudah benar atau belum.
Demikian pula sebaliknya, dengan fikih saja tidak cukup tanpa
mengamalkan tasawuf, karena hanya tasawuf yang mampu bertawajjuh kepada Allah
dengan benar. Syariat dan tasawuf juga tidak dibenarkan tanpa didasari oleh
keimanan yang benar. Sehingga, ketiganya (Iman, syariat dan tasawuf)
harus menyatu seperti menyatunya ruh dengan jasad.
Penyatuan ketiganya persis seperti apa yang dikatakan Imam
Malik bin Anas, “Man
tashawwafa wa lam yatafaqqah faqad tazandaq, wa man tafaqqaha wa lam
yatashawwaf faqad tafassaq, wa man jama’a bainahuma faqad tahaqqaqâ€. Artinya,
Orang yang mengamalkan tasawwuf tanpa didasari syariat (fikih) telah menjadi
zindiq (keluar dari ajaran agama hak). Sedangkan orang yang mengamalkan fikih
saja tanpa disertai pengamalan tasawuf, ia telah menjadi fasiq. Adapun orang
yang mengamalkan keduanya (fikih dan tasawuf) akan mencapai hakikat.â€
Dari sini, dapat dipahami bahwa ibadah para ahli tasawuf
memang ketat. Sehingga tak salah bila para ahli tasawuf mengatakan, untuk
membina keikhlasan dan menjauhkan kemaksiatan dapat dilakukan dengan optimal
melalui pengalaman tasawuf.
Prinsip Akhlak Tasawuf
Jika ditanya apa prinsip tawasuf, jawabannya adalah
ikhlas.ikhlasan memang menjadi dasar utama dalam pengamalan tasawuf, baru
setelah itu sifat-sifat yang lain seperti jujur, tawakkal dan lainnya. Ibnu
‘Ajibah, penulis “Syarah
Hikam†menyatakan bahwa permasalahan tasawuf ialah memahami
istilah dan ungkapan yang digunakan di kalangan para sufi, seperti ikhlas,
jujur, tawakkal, zuhud, wara’, ridha, menyerahkan diri kepada keputusan
Allah, cinta kepada Allah dan Rasulullah, dan lain sebagainnya yang
berhubungan dengan tasawuf.
Dengan mempelajari ikhlas sebagai prinsip akhlak tasawuf, maka
akan sampai pada tingkatan pengalaman tasawuf yang tinggi. Yaitu, sumut ( diam, tidak banyak
bicara kecuali sangat diperlukan) dan khalwah (menyendiri). Kenapa ikhlas
menjadi syarat untuk mencapai keduanya? Karena jika banyak bicara, bakal hilang
sifat ikhlas. Jika tidak berusaha untuk menyendiri, bakal selalu terucap
hal-hal yang bisa menggiring diri untuk tidak ikhlas kepada Allah Swt. dalam
beribadah dan bertindak.
Akhlak Tasawuf - Koreksi Diri
Sejatinya, mempelajari tasawuf adalah proses pengoreksian
diri. Pengoreksian untuk menjadi hamba Allah Swt. Ada kisah menarik yang menjelaskan
permasalahan pengoreksian diri dalam disiplin ilmu tasawuf.
Suatu hari, Imam Ahmad bin Hanbal bertanya kepada as-Syaibani
ar-Ra’I, seorang ulama tasawuf di kota Baghdad, tentang hukumunya orang yang
lupa shalat fardhu, dan shalat fardhu yang mana yang dilupakan itu sehingga
dapat diqadha’. As-Syaibani menjawab, “Orang yang lupa shalat fardhu itu
telah memaikan kewajiban Allah dan sanksinya harus dididik untuk menjadi hamba
Allah yang taat kepada-Nya.
Asy-Syaibani sengaja tidak menjawabnya dari sisi fikih,
karena ia lebih tahu bahwa Imam Ahmad bin Hanbal lebih mengetahui jawabannya.
Ia mencoba untuk memberikan jawaban dari sisi ilmu tasawuf, yang menganjurkan
bila seseorang lupa akan kewajibannya kepada Allah, maka ia mesti dididik untuk
taat. Ketika sudah taat kepada Allah, maka ia tak akan pernah lupa.
Didik taat kepada Allah Swt., cara terbaiknya adalah dengan
mengajarkan ikhlas. Karena keikhlasan kepada Allah Swt. akan membuat seseorang
makin dekat kepada Allah dan tak akan pernah lupa kepada-Nya. Jika tak pernah
lupa, tak akan pernah ia meninggalkan shalatnya sekalipun.
Di dalam kitab “Aththabaqatâ€,
karangan imam as-Sya’rani, dicantumkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal menyuruh
anak-anaknya belajar kepada para syeikh sufi pada masa itu. Bahkan Imam Ahmad
bin Hanbal kepada anak-anaknya, “Orang-orang sufi itu telah mencapai tingkat
keikhlasan yang orang-orang fikih tidak dapat mencapainyaâ€.
Dunia dalam Pandangan Syeikh Abdul Qadir Jailany
Tak sedikit orang beranggapan bahwa, jika sudah bertasawuf
tak lagi penting dengan dunia. Benarkah demikian? Syeikh Abdul Qadir Jailany
dalam buku “al-Fathurrabbani
menyatakan bahwa tidak membenarkan hidup menjauhi kenikmatan dunia
seperti apa yang dilakukan oleh agama-agama lain. Karena tidak ada larangan
untuk menikmati dunia selagi hal itu tidak termasuk harta yang haram.
Karena yang dilarang itu adalah perbuatan mencintai
kenikmatan secara berlebihan sehingga pada batas mengkuduskan dan menuhankan.
Sekiranya tak mendapat kenikmatan dunia menjadi stress.
Untuk melihat titik terang bagaimana pelaku akhlak tawasuf
menilai dunia, dapat dilihat dalam kitab “Qutubul Aqlab†yang ditulis
Syeikh Abdul Qadir Jailany. Ia menuliskan, “wa
finnasi man takuunu addunnya biyadihi…†Artinya, Sementara
manusia mempunyai banyak kekayaan, tetapi tidak mencintainya. Ia memiliki dunia
tetapi tidak dikuasi dunia. Dunia mencintainya, tetapi ia tidak mencintai
dunia. Ia tidak membagi-bagi harta benda, tapi tidak sampai dipecah belah oleh
harta kekayaan.
Dari sini, dapat dipahami bahwa orang-orang tasawuf yang
benar adalah orang-orang yang menggunakan dunia, tapi tidak mau diperbudak oleh
dunia. Maka tepat sekali, ketika Rasulullah Saw. mengatakan, “Harta yang paling nikmat adalah
harta di tangan orang yang saleh.†Artinya, seorang muslim yang
saleh yang dapat memanfaatkan harta dengan baik sehingga dapat merasakan
kenikmatannya tanpa suatu beban apa pun.
Ada pesan bijaksana dari Syeikh Abdul Qadir Jailany untuk
siapa saja yang ingin memiliki akhlak
tasawuf yang berhubungan dengan dunia. “Dunia boleh kamu
pegang, dan kamu kantogi, dunia boleh kamu simpan dengan niat yang baik…
tetapi dunia jangan kamu simpan di dalam hatimu. Kamu boleh berdiri di depan
pintu dunia, dan jangan membiarkan dunia di dalam lubuk hatimu. Kamu menjadi
hina, apabila dunia dapat menembus lubuk hatimu.â€
Senada dengan masalah dunia, Syeikh Abdul Qadir Jailany juga
mencela pengangguran, sehingga hidupnya menjadi beban bagi orang lain. Ia
mendorong uat Islam untuk bekerja mencari rezeki yang halal. Sebagaimana
fatwanya bernada,
“Beribadahlah kepada Allah dan gunakanlah hasil usahamu
yang halal itu untuk meningkatkan ibadahmu kepada-Nya. Allah mencintai
hamba-Nya yang makan dari hasil usahanya sendiri dan Allah benci
hamba-Nya yang maka dari hasil usaha orang lain kemudian menyerahkan diri
kepada Allah.â€
Fatwa tersebut sejatinya selaras dengan sabda Rasulullah Saw.
“Dunia tempat bercocok
tanam untuk kepentingan akhirat.†Karena itu, gunakanlah dunia
untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan menjauhkan kita kepada Allah. Hanya
orang yang menjalankan pengalaman tasawuf yang mampu menapaki kehidupan dunia
ini menjadi jalan untuk meraih posisi yang nyaman di tempat abadi. Yaitu,
surga.
|
|
|
|