Kamis, 18 April 2013




Ilustrasi akhlak tasawuf
Apakah pengertian akhlak tasawuf? Sebelumnya, kita perlu memahami arti tasawuf, yang berkaitan dengan sufi. Tasawuf adalah menyerahkan diri kepada Allah Swt. Karena itu, orang yang bertasawuf dalam mengenali Tuhan dengan cara yang sedikit berbeda dengan kebanyakan umat beragama.
Sufi sering dianggap mengada-ada di dalam beribadah. Bahka Tasawuf juga sering dituduh sebagai kekafiran tersembunyi dalam Islam. Oleh karena itu, kita perlu melihat praktik langsung para sufi, akhlak mereka untuk membuktikan sejauh apa “kesesatan” atau “kebenaran” tasawuf.

Akhlak Tasawuf - Sejarah Tasawuf

Setiap ilmu pengetahuan ada perumusnya. Imam As-Syafi’I dinyatakan sebagai perumus Ushul Fikih dan Imam Abu Hasan al-Asy’ari dinyatakan sebagai perumus akida ahlussunnah wal jamaah. Siapa perumus ilmu tasawuf? Para ulama tasawuf, seperti Ibu Ajibah, penulis Syarah hikam, menyatakan bahwa perumus ilmu tasawuf adalah Abul Qasim Muhammad ibnu Junaid al-Khazzaz atau yang biasa disebut dengan Syeikh Junaid al-Baghdadi.
Hakikat Tasawuf sendiri, menurut Syeikh Junaid al-Baghdadi, adalah suatu proses penyucian untuk menempatkan yang hak. Karena kebenaran sendiri tidak akan pernah berubah dan tidak mungkin dapat dipalsukan. Ia tetap benar di manapun ia berada. Ia tak ubahnya seperti berlian atau mutiara.
Syeikh Zuruq berkata tentang pengertian tawasuf. Terdapat dua ribu definisi tasawuf dengan berbagai rumusan, namun mempunyai satu kesimpulan, yaitu “kebenaran mengahadap Allah”.  Perbedaan ungkapan terhadap satu hakikat, menurut Syeikh Zuruq, menunjukkan jauhnya jangkauan para peminatnya. Setiap ungkapan sesuai dengan pemahamannya.
Intinya, sejarah tasawuf dan pengertiannya memang tak jauh berbeda dari tujuan utama tasawuf, yaitu memurnikan tawajjuh kepada Allah. Tawajjuh artinya, menghadap Allah dengan mendapatkan ridha-Nya dan dengan cara yang diridhai-Nya. Makanya, orang yang belajar tasawuf kerap akan mengirinya dengan akhlak yang mulai. Biasanya disingkat dengan akhlak tasawuf.

Akhlak Tasawuf - Ibadah Ketat Pelaku Tasawuf

Dalam beribah, para pelaku akhlak tasawuf murni memberlakukan ketentuan yang ketat. Dengan dalih, bahwa Allah melarang hamba-Nya untuk berbuat kufur. Untuk itu, diwajibkan untuk beriman kepada-Nya. Setiap orang wajib menjalankan syariat Islam. Bertasawuf tidak dibenarkan tanpa berpijak pada syariat Islam karena dengan syariat (hukum fikih), hukum Allah dapat diketahui, yaitu ibadahnya sudah benar atau belum.
Demikian pula sebaliknya, dengan fikih saja tidak cukup tanpa mengamalkan tasawuf, karena hanya tasawuf yang mampu bertawajjuh kepada Allah dengan benar. Syariat dan tasawuf juga tidak dibenarkan tanpa didasari oleh keimanan yang benar. Sehingga, ketiganya (Iman, syariat dan tasawuf) harus  menyatu seperti menyatunya ruh dengan jasad.
Penyatuan ketiganya persis seperti apa yang dikatakan Imam Malik bin Anas, “Man tashawwafa wa lam yatafaqqah faqad tazandaq, wa man tafaqqaha wa lam yatashawwaf faqad tafassaq, wa man jama’a bainahuma faqad tahaqqaq”. Artinya, Orang yang mengamalkan tasawwuf tanpa didasari syariat (fikih) telah menjadi zindiq (keluar dari ajaran agama hak). Sedangkan orang yang mengamalkan fikih saja tanpa disertai pengamalan tasawuf, ia telah menjadi fasiq. Adapun orang yang mengamalkan keduanya (fikih dan tasawuf) akan mencapai hakikat.”
Dari sini, dapat dipahami bahwa ibadah para ahli tasawuf memang ketat. Sehingga tak salah bila para ahli tasawuf mengatakan, untuk membina keikhlasan dan menjauhkan kemaksiatan dapat dilakukan dengan optimal melalui pengalaman tasawuf.

Prinsip Akhlak Tasawuf

Jika ditanya apa prinsip tawasuf, jawabannya adalah ikhlas.ikhlasan memang menjadi dasar utama dalam pengamalan tasawuf, baru setelah itu sifat-sifat yang lain seperti jujur, tawakkal dan lainnya. Ibnu ‘Ajibah, penulis “Syarah Hikam” menyatakan bahwa permasalahan tasawuf ialah memahami istilah dan ungkapan yang digunakan di kalangan para sufi, seperti ikhlas, jujur, tawakkal, zuhud, wara’, ridha,  menyerahkan diri kepada keputusan Allah, cinta kepada Allah dan Rasulullah,  dan lain sebagainnya yang berhubungan dengan tasawuf.
Dengan mempelajari ikhlas sebagai prinsip akhlak tasawuf,  maka akan sampai pada tingkatan pengalaman tasawuf yang tinggi. Yaitu, sumut ( diam, tidak banyak bicara kecuali sangat diperlukan) dan khalwah (menyendiri). Kenapa ikhlas menjadi syarat untuk mencapai keduanya? Karena jika banyak bicara, bakal hilang sifat ikhlas. Jika tidak berusaha untuk menyendiri, bakal selalu terucap hal-hal yang bisa menggiring diri untuk tidak ikhlas kepada Allah Swt. dalam beribadah dan bertindak.

Akhlak Tasawuf - Koreksi Diri

Sejatinya, mempelajari tasawuf adalah proses pengoreksian diri. Pengoreksian untuk menjadi hamba Allah Swt. Ada kisah menarik yang menjelaskan permasalahan pengoreksian diri dalam disiplin ilmu tasawuf.
Suatu hari, Imam Ahmad bin Hanbal bertanya kepada as-Syaibani ar-Ra’I, seorang ulama tasawuf di kota Baghdad, tentang hukumunya orang yang lupa shalat fardhu, dan shalat fardhu yang mana yang dilupakan itu sehingga dapat diqadha’. As-Syaibani menjawab, “Orang yang lupa shalat fardhu itu telah memaikan kewajiban Allah dan sanksinya harus dididik untuk menjadi hamba Allah yang taat kepada-Nya.
Asy-Syaibani sengaja tidak menjawabnya dari sisi fikih, karena ia lebih tahu bahwa Imam Ahmad bin Hanbal lebih mengetahui jawabannya. Ia mencoba untuk memberikan jawaban dari sisi ilmu tasawuf, yang menganjurkan bila seseorang lupa akan kewajibannya kepada Allah, maka ia mesti dididik untuk taat. Ketika sudah taat kepada Allah, maka ia tak akan pernah lupa.
Didik taat kepada Allah Swt., cara terbaiknya adalah dengan mengajarkan ikhlas. Karena keikhlasan kepada Allah Swt. akan membuat seseorang makin dekat kepada Allah dan tak akan pernah lupa kepada-Nya. Jika tak pernah lupa, tak akan pernah ia meninggalkan shalatnya sekalipun.
Di dalam kitab “Aththabaqat”, karangan imam as-Sya’rani, dicantumkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal menyuruh anak-anaknya belajar kepada para syeikh sufi pada masa itu. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal kepada anak-anaknya, “Orang-orang sufi itu telah mencapai tingkat keikhlasan yang orang-orang fikih tidak dapat mencapainya”.

Dunia dalam Pandangan Syeikh Abdul Qadir Jailany

Tak sedikit orang beranggapan bahwa, jika sudah bertasawuf tak lagi penting dengan dunia. Benarkah demikian? Syeikh Abdul Qadir Jailany dalam buku “al-Fathurrabbani menyatakan bahwa tidak membenarkan hidup menjauhi kenikmatan dunia seperti apa yang dilakukan oleh agama-agama lain. Karena tidak ada larangan untuk menikmati dunia selagi hal itu tidak termasuk harta yang haram.
Karena yang dilarang itu adalah perbuatan mencintai kenikmatan secara berlebihan sehingga pada batas mengkuduskan dan menuhankan. Sekiranya tak mendapat kenikmatan dunia menjadi stress.
Untuk melihat titik terang bagaimana pelaku akhlak tawasuf menilai dunia, dapat dilihat dalam kitab “Qutubul Aqlab” yang ditulis Syeikh Abdul Qadir Jailany. Ia menuliskan, “wa finnasi man takuunu addunnya biyadihi…” Artinya, Sementara manusia mempunyai banyak kekayaan, tetapi tidak mencintainya. Ia memiliki dunia tetapi tidak dikuasi dunia. Dunia mencintainya, tetapi ia tidak mencintai dunia. Ia tidak membagi-bagi harta benda, tapi tidak sampai dipecah belah oleh harta kekayaan.
Dari sini, dapat dipahami bahwa orang-orang tasawuf yang benar adalah orang-orang yang menggunakan dunia, tapi tidak mau diperbudak oleh dunia. Maka tepat sekali, ketika Rasulullah Saw. mengatakan, “Harta yang paling nikmat adalah harta di tangan orang yang saleh.” Artinya, seorang muslim yang saleh yang dapat memanfaatkan harta dengan baik sehingga dapat merasakan kenikmatannya tanpa suatu beban apa pun.
Ada pesan bijaksana dari Syeikh Abdul Qadir Jailany untuk siapa saja yang ingin memiliki akhlak tasawuf yang berhubungan dengan dunia. “Dunia boleh kamu pegang, dan kamu kantogi, dunia boleh kamu simpan dengan niat yang baik… tetapi dunia jangan kamu simpan di dalam hatimu. Kamu boleh berdiri di depan pintu dunia, dan jangan membiarkan dunia di dalam lubuk hatimu. Kamu menjadi hina, apabila dunia dapat menembus lubuk hatimu.”
Senada dengan masalah dunia, Syeikh Abdul Qadir Jailany juga mencela pengangguran, sehingga hidupnya menjadi beban bagi orang lain. Ia mendorong uat Islam untuk bekerja mencari rezeki yang halal. Sebagaimana fatwanya bernada,
“Beribadahlah kepada Allah dan gunakanlah hasil usahamu yang halal itu untuk meningkatkan ibadahmu kepada-Nya. Allah mencintai hamba-Nya  yang makan dari hasil usahanya sendiri dan Allah benci hamba-Nya yang maka dari hasil usaha orang lain kemudian menyerahkan diri kepada Allah.”
Fatwa tersebut sejatinya selaras dengan sabda Rasulullah Saw. “Dunia tempat bercocok tanam untuk kepentingan akhirat.” Karena itu, gunakanlah dunia untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan menjauhkan kita kepada Allah. Hanya orang yang menjalankan pengalaman tasawuf yang mampu menapaki kehidupan dunia ini menjadi jalan untuk meraih posisi yang nyaman di tempat abadi. Yaitu, surga.